Gerak jam berhenti di angka 12. Mungkin bosan dengan perjalanan yang itu-itu saja. Wangi
apel segar menyeruak dari pengharum ruangan yang berada di atas meja. Kuhela
nafas panjang-panjang… Kutatap nanar jendela kecil di depanku, tempat kata-kata
bermunculan dari tiada, sambil sesekali menghirup teh vanilla yang rasanya
tidak manis-manis amat. Setelah selalu diburu waktu untuk mengerjakan hal-hal penting hingga terengah-engah dan tak punya waktu tuk yang lain, ini adalah kesempatan emas. Aku bisa melakukan hal yang terpenting, karena aku punya seluruh waktu di dunia!
Jadi kututup jendela-jendela laporan dan skema dan gambar, lalu terbentanglah
layar putih kosong.
Tidak perlu menunggu lama, si Aku yang terpendam muncul
di layar sambil menatap tajam, lalu duduk di sofa kulit. Dengan gaya psikolog
kepada pasiennya, dia membuka pembicaraan.
“Jadi, apa
yang ingin kamu bicarakan?”
Hai juga, terimakasih sudah datang… (menghela nafas) Aku merasa lelah.
“Mengapa?”
Yah… karena aku selalu bekerja,
melakukan hal-hal yang bahkan aku sendiri tidak tahu apakah aku benar-benar
ingin melakukannya atau tidak.
“Memangnya
apa yang kamu lakukan disini?”
Aku berusaha membantu orang untuk membantu
dirinya sendiri.
“Apakah sejauh
ini usahamu berhasil?”
Aku rasa belum, aku lelah karena usahaku selalu terbentur pada sikap atau motivasi orang lain.. apa mereka mau
membantu dirinya sendiri atau tidak.
“Apakah kamu benar-benar ingin membantu mereka?”
Ya, karena dengan membantu mereka aku
juga membantu diriku sendiri. Kau tahu aku selalu ingin berperan sebagai problem solver,
think tank, agent of change, pembaru, penyadar. Dan kurasa itu akan aku raih dengan membantu mereka dengan masalah-masalah mereka… Aku ingin membantu mereka untuk kepuasan pribadi juga kurasa…
“Sudah berapa
lama kamu melakukannya?”
Hmm, lebih dari 3 tahun…
“Apakah kamu
puas dengan apa yang kamu capai?”
Cukup puas, yah, sebenarnya tidak
juga…
“Jika kamu ingin membantu mereka untuk mendapatkan kepuasan pribadi, dan kamu tidak cukup puas, lalu apa
yang menahanmu?”
Yah.. Tanggung-jawab besar yang kubebankan
pada diri sendiri, bahwa aku harus keluar dengan meninggalkan sesuatu yang
lebih baik dari ketika aku masuk. Aku selalu berusaha untuk itu. Dan aku merasa wajib untuk memantau dan memastikan perubahannya hingga selesai.
“Tapi,
mengapa?”
Maksudmu?
“Mengapa kamu
harus memastikan perubahan itu terjadi hingga usai? Bukankah itu tanggung-jawab
yang terlalu besar?.”
Entah… Memangnya tidak harus?
“Tentu saja tidak! Kau bisa membantu orang untuk membantu
dirinya sendiri, selama orang itu mau membantu dirinya sendiri. Kewajibanmu
hanyalah menunjukkan jalannya. Bahkan Nabi tak diberi tanggung-jawab sebesar
itu!”
“Keputusan apakah mereka akan menerima jalan itu atau tidak
adalah tanggung-jawab mereka. Apakah mereka mau berubah atau tidak, itu ada
pada pundak mereka. Tugasmu hanya berusaha dengan maksimal agar jalan itu mudah
ditemukan dan patut dipertimbangkan. Jangan menyanjung diri sendiri.”
Lalu pembicaraan itu berhenti. Si
Aku menghilang dari layar, dan aku hanya bisa memandangi cerminan wajahku
sendiri, yang tampak lelah dan kusut dan terhenyak. Benar juga, aku tak punya
tanggung-jawab sebesar itu. Bukankah aku sudah melakukan apa yang aku bisa?
Terlalu naïf jika aku mengira aku bertanggung-jawab atas keputusan akhirnya. Dan
memangnya siapa aku?
Bukankah Tuhan berfirman, bahwa kewajiban kita adalah untuk berusaha dengan sebaik-baiknya?Dan jika kita telah berusaha, maka serahkanlah hasilnya
kepada Allah.
Lalu jam memutuskan untuk
kembali bergerak. Sekonyong-konyong waktu menjadi normal. Dan suara-suara bising menyeruak dari sekitar meja kantorku. Kutatap
layar putih, di jendela dimana kata bermunculan. Tapi kali ini dengan senyuman, dan kepala yang lebih ringan dari biasanya.
J
@dinarkarani
0 comments:
Posting Komentar