Cover depan |
Saat jalan-jalan ke Gramedia beberapa waktu lalu, saya dan suami
memilih tema sejarah untuk reading session kami berikutnya.
Banyak buku-buku menarik, tetapi kami kepincut dengan dua buah buku, Cahaya
Dari Timur dan Babad Tanah Jawi. Berhubung ulasan mengenai Babad Tanah Jawi
sudah bertebaran di internet, pada post kali ini saya hanya mengulas Cahaya
Dari Timur. :)
Buku ini adalah terjemahan dari karya John Freely, seorang renaissance man, seorang fisikawan, guru dan penulis lebih dari 40 buku, dan telah tinggal di Turki selama 50 tahun. Lihat profilnya disini.
Ngaku deh, biasanya kalau kita membahas Ilmu Pengetahuan, kita
hanya menyebut masa Yunani (yang nama tokohnya berakhiran -les, -les,atau -ix, -ix seperti
Asterisk dan Obelix, hehe), Masa-Masa Kegelapan (hanya sedikit tokoh, itupun
dibungkam), KEMUDIAN Renaissance (Aquinas, Fibonnaci, dan sebagainya). Cuma
tiga tahapan ilmu pengetahuan.
Jaraaang sekali kita mengungkit tentang masa-masa dimana para pemikir aktif
seperti Al-Farabi, Al-Kindi dan Ibnu Sina menelurkan puluhan karya.
Padahal, tanpa pengaruh ilmu pengetahuan Arab-Islam, mustahil terjadi
Renaissance di Eropa. Lewat bukunya ini, John Freely berusaha meluruskan
pandangan tersebut, dan mengajukan pemahaman baru : Era Yunani - Masa Keemasan
Islam - Renaissance untuk menyebutkan sejarah sains.
Pasang-Surut Ilmu
Pengetahuan
John Freely membuka bukunya dengan bahasan mengenai pengembangan ilmu
pengetahuan di Yunani, tentang para filsuf yang bekerja sendirian maupun berkelompok untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan keduniawian. Orang-orang Pagan ini berkontribusi besar pada temuan-temuan
filsafati dan turunannya (kelompok ilmu pengetahuan lain seperti logika,
matematika, fisika, metafisika, dst).
Gemilang Ilmu Pengetahuan mengalami kemunduran di era Romawi
Kristen, saat para filsuf pagan dikucilkan dan dibunuh karena bertentangan
dengan doktrin Gereja, serta karena kepercayaan paganisme mereka. Titik
terendahnya adalah saat perpustakaan terbesar di Alexandria dibakar oleh massa
kristen yang marah. Untungnya, beberapa karya Yunani dan beberapa filsuf
berhasil menyebrang ke dunia tengah, dan memunculkan gairah filsafati dari
otak-otak brilian Arab-Islam.
Melalui penerjemahan, pengkajian, dan perdebatan ilmiah di
madrasah-madrasah di Kairo, Al-Andalus, dan Maghrib, para pemikir dan ilmuwan
Arab-Islam meneruskan tradisi ilmu pengetahuan. Seperti para pendahulunya dari Yunani, banyak dari para ilmuwan ini
adalah seorang polimath alias orang yang mahir di berbagai
disiplin ilmu alias jenius alias generalis
yang spesifik (hehe, maafkan kontradiksinya)
Perlu dicatat, dalam buku ini John Freely mengelompokan seluruh
tokoh-tokoh ilmuwan di wilayah Arab sebagai ilmuwan/pemikir Arab-Islam. Jadi,
ilmuwan yang kita bicarakan bukan dari ras Arab saja dan bukan Muslim saja,
tetapi juga dari Yahudi, Kristen dan ada juga dari kaum pagan Persia. Mereka
semua berkontribusi menelurkan karya-karya jenius dan orisinal di bidang yang
amat luas. Beberapa diantara mereka malah menjadi legenda seperti Al-Jazari.
Autmaton Perahu Musik karya Al-Jazari |
Sayangnya, kepopuleran ilmu pengetahuan Arab-Islam mencapai titik
balik pada masa Al-Ghazali. Al-Ghazali, sang eks filosof yang menjadi sufi,
menghujam argumen-argumen ilmu pengetahuan yang digagas oleh para pendahulunya
tepat di jantung, Iman. (Hmm, rasanya pernah baca di paragraf atas...)
Pemikiran Al-Ghazali menjadi popular karena didukung oleh situasi
Islam yang saat itu sudah terdesak oleh gerakan requencuesta Raja-Raja
Katolik dan pendudukan bangsa Mongol. Dari keputus-asaan tersebut muncul
gerakan untuk melupakan ilmu pengetahuan dan berfokus ke penyucian diri
(sufisme/tasawuf) dan agama.
A.I Sabra, seorang professor sejarah ilmu pengetahuan,
menuturkan hasil observasinya atas kemunduran ini, beliau menyatakan bahwa pandangan yang berlaku mulai dari Al
Ghazali dan jaman sesudahnya adalah bahwa "orang berpendidikan
diciptakan agar bisa semakin dekat kepada penciptanya", yang artinya
'bukan hanya pengetahuan agama yang lebih tinggi peringkatnya dan lebih patut
dipelajari dari semua bentuk pengetahuan lainnya, namun juga semua bentuk
pengetahuan lain harus dihubungkan dengan agama.'. Sabra melanjutkan:
Doktrin mengenai ilmu pengetahuan terdiri atas dua jenis: Doktrin yang bertentangan dengan agama yang tentu harus ditolak, dan doktrin yang mempelajari kandungan umum objek-objek material, (yang kedua) itu dapat diabaikan saja, karena tidak ada ruginya sama sekali.
Hanya ada satu prinsip yang harus menjadi pegangan di saat seseorang harus memutuskan apakah suatu cabang ilmu layak dipelajari atau tidak, yaitu bahwa 'dunia ini adalah lahan untuk ditaburi bagi generasi berikutnya', lalu Ghazali mengutip salah satu hadist Nabi, "Semoga Tuhan melindungi kita dari ilmu yang tidak berguna".
Hasil akhirnya adalah sebuah pandangan instrumentalis dan agamis dari semua ilmu pengetahuan duniawi yang diijinkan. Ini adalah pandangan yang mengikuti masuknya ilmu logika dan matematika serta pengobatan, walau terbatas, ke sekolah-sekolah madrasah, dan masuknya ahli astronomi ke masjid walau dengan persyaratan khusus. (hlm. 396)
Dengan menghilangnya sifat kritis dari masyarakat Arab-Islam, dan
karena kekangan pengkajian di madrasah-madrasah dan institusi pendidikan
lainnya, runtuhlah tradisi ilmu pengetahuan Arab-Islam. Tradisi ini
dilanjutkan oleh pada pemikir Eropa yang memasuki jaman Renaissance.
Kesimpulan
Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari buku ini?
Yang saya pahami begini, ilmu pengetahuan hidup dan berkembang
dari sifat kritis manusia, dan hilangnya sifat kritis ini berarti kematian ilmu
pengetahuan.
Sebagaimana yang kita lihat dalam masa hidup kita saat ini, paham
Al-Ghazali masih tumbuh subur di kalangan luas, memagari langkah pengembangan
ilmu serta memagari perkembangan kebijak-sanaan mereka sendiri. Bagaimana bisa
menjadi bijaksana bila tradisi diskusi ilmiah dikungkung oleh keyakinan atas
doktrin (yang belum tentu benar)?
Saya tidak mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari agama, itu sekuler namanya. Yang saya usulkan adalah adanya revolusi pemikiran dalam tradisi ilmu pengetahuan kita (muslim), yang tadinya antikritik menjadi prokritik. Dalam urusan agama maupun ilmu pengetahuan, budayakan sifat kritis. Bukankah cuma satu yang tidak boleh kita kritisi, yaitu mengenai zat Allah?
Saya tidak mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari agama, itu sekuler namanya. Yang saya usulkan adalah adanya revolusi pemikiran dalam tradisi ilmu pengetahuan kita (muslim), yang tadinya antikritik menjadi prokritik. Dalam urusan agama maupun ilmu pengetahuan, budayakan sifat kritis. Bukankah cuma satu yang tidak boleh kita kritisi, yaitu mengenai zat Allah?
Mari kita upayakan budaya pengkajian dan diskusi, yang bukan
bertujuan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk menemukan kebenaran. Jika
kesepakatan atas satu kebenaran tidak tercapai, setidaknya kita sama-sama tahu
bahwa kita berusaha untuk memaknai, dan perbedaan itu adalah pemaknaan kita
atas kebenaran.
@dinarkarani
0 comments:
Posting Komentar