Forgetful Dinar

/ 5 April 2013 /


It’s extremely easy to break off a good habit, easier than forgetting someone’s name.

Dulu, duluu sekali saya adalah seorang ‘decorated forgetful’. Apa-apa saja saya lupakan. PR, waktu, perintah ortu, janji-janji, buku yang saya pinjam, barang-barang kecil, nama orang-orang, solat, whatever. Untung saya tidak pernah lupa diri (kayaknya).

Tapi waktu SMA ibu saya berkomentar dengan jengkelnya (waktu itu saya naik turun tangga empat kali untuk mencari lokasi terakhir benda yang saya hilangkan), “Makanya, apa-apa itu harus konsentrasi!”

Saat dengar gerutuan itu, saya sendiri mencibir, ini sih bukan karena ga konsentrasi, tapi murni karena memori saya pendek-pendek. (Saat itu saya selalu menyalahkan sirkuit otak remaja yang sering konslet) Tapi komentar itu bikin saya penasaran juga, apakah jika saya lebih konsentrasi sifat pelupa saya bakal hilang? Like, completely gone

Akhirnya, dengan semangat remaja yang menggebu-gebu, besoknya saya coba resep Konsentrasi ini. Saya mencoba berkonsentrasi penuh sepanjang hari, tidak memberi waktu bagi ‘malaweung-time’ alias ‘auto-mode’ yang biasanya saya gunakan. Dan Alhamdulillah, praise be to Allah, ternyata sifat pelupa saya hilang 99%!

Saat itu saya terpana dan yakin 100%, bahwa ternyata kekuatannya ada di taking control of our action. Karena kalau saya malaweung, ngelamun, kemungkinan lupa jadi 70% Begitu saya konsentrasi penuh, jreeeng, saya ga pernah lagi lupa dimana saya taruh kertas daftar belanja, atau buku, atau obat, atau buang sampah ke tempatnya. Saya bebaaass!

Bebas?

Ga juga.

Karena hampir 5 tahun kemudian, tiba-tiba sifat pelupa saya kembali. Gara-garanya simple, habbit saya untuk konsentrasi penuh ternodai dengan eagerness saya untuk memahami posisi saya di dunia (atau tempat kerja to be exact). Karena saya begitu berusahanya untuk berkonsentrasi untuk memosisikan diri saya pada tempat yang ‘benar’. Dan akhirnya good habbit untuk berkonsentrasi pada action jadi pudar, digantikan oleh konsentrasi pada gagasan.

I was so full of ideas, and also so full of bullshit. Because all I do was thinking and groaning and moaning, with so little emphasis on actions. Thus, my memory was fading (replaced by my silly unneeded thoughts), and I keep forgetting things. I forgot my bestfriends’ birthdays, forgot how lucky I was to have so many love, forgot to thank God that I was alive and healthy, and so on.  Sadly, things that I mostly forget, was actually the best thing in life, My Transcendental Self.

Untunglah masih belum terlambat bagi saya untuk menghentikan habbit buruk ini, dan kembali menjadi diri saya sendiri. Kembali berkonsentrasi pada aksi. Bayangkan jika saya mati saat saya dalam keadaan begitu, apa kira-kira yang bisa saya pertanggung-jawabkan pada Tuhan dan pada atasan-atasan saya? Fiuh.. not much I guess.

Ambil Kunci Emas dari pengalaman saya ini, teman, please, stop thinking about your place in Life, and start giving. It’s your contribution that matter, not your idea of yourself.

@dinarkarani

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger