It’s extremely easy to
break off a good habit, easier than forgetting someone’s name.
Dulu, duluu sekali saya adalah seorang ‘decorated
forgetful’. Apa-apa saja saya lupakan. PR, waktu, perintah ortu, janji-janji,
buku yang saya pinjam, barang-barang kecil, nama orang-orang, solat, whatever. Untung saya tidak pernah lupa
diri (kayaknya).
Tapi waktu SMA ibu saya berkomentar dengan jengkelnya (waktu
itu saya naik turun tangga empat kali untuk mencari lokasi terakhir benda yang
saya hilangkan), “Makanya, apa-apa itu
harus konsentrasi!”
Saat dengar gerutuan itu, saya sendiri mencibir, ini sih
bukan karena ga konsentrasi, tapi murni karena memori saya pendek-pendek. (Saat
itu saya selalu menyalahkan sirkuit otak remaja yang sering konslet) Tapi komentar
itu bikin saya penasaran juga, apakah jika saya lebih konsentrasi sifat pelupa
saya bakal hilang? Like, completely gone?
Akhirnya, dengan semangat remaja yang menggebu-gebu, besoknya saya coba resep
Konsentrasi ini. Saya mencoba berkonsentrasi penuh sepanjang hari, tidak
memberi waktu bagi ‘malaweung-time’ alias ‘auto-mode’ yang biasanya saya
gunakan. Dan Alhamdulillah, praise be to
Allah, ternyata sifat pelupa saya hilang 99%!
Saat itu saya terpana dan yakin 100%, bahwa ternyata
kekuatannya ada di taking control of our
action. Karena kalau saya malaweung, ngelamun, kemungkinan lupa jadi 70% Begitu
saya konsentrasi penuh, jreeeng, saya ga pernah lagi lupa dimana saya taruh
kertas daftar belanja, atau buku, atau obat, atau buang sampah ke tempatnya.
Saya bebaaass!
Bebas?
Ga juga.
Karena hampir 5 tahun kemudian, tiba-tiba sifat pelupa saya
kembali. Gara-garanya simple, habbit saya untuk konsentrasi penuh
ternodai dengan eagerness saya untuk
memahami posisi saya di dunia (atau tempat kerja to be exact). Karena saya begitu berusahanya untuk berkonsentrasi untuk memosisikan diri saya pada tempat yang
‘benar’. Dan akhirnya good habbit untuk berkonsentrasi
pada action jadi pudar, digantikan oleh konsentrasi
pada gagasan.
I was so full of
ideas, and also so full of bullshit. Because all I do was thinking and groaning
and moaning, with so little emphasis on actions. Thus, my memory was fading
(replaced by my silly unneeded thoughts), and I keep forgetting things. I
forgot my bestfriends’ birthdays, forgot how lucky I was to have so many love,
forgot to thank God that I was alive and healthy, and so on. Sadly, things that I mostly forget, was actually
the best thing in life, My Transcendental Self.
Untunglah masih belum terlambat bagi saya untuk menghentikan
habbit buruk ini, dan kembali menjadi diri saya sendiri. Kembali berkonsentrasi
pada aksi. Bayangkan jika saya mati saat saya dalam keadaan begitu, apa
kira-kira yang bisa saya pertanggung-jawabkan pada Tuhan dan pada atasan-atasan
saya? Fiuh.. not much I guess.
Ambil Kunci Emas dari pengalaman saya ini, teman, please, stop thinking about your place in
Life, and start giving. It’s your
contribution that matter, not your idea of yourself.
@dinarkarani
0 comments:
Posting Komentar