source |
Ada satu hal yang berkelindan di pikiran saya pagi ini,
panjang, memutar-mutar, dan mengakar. Ia hasil kontemplasi saya atas pilihan hidup
yang sudah saya putuskan, dan akan saya ambil. Tapi kali ini bukan lahir dari kegalauan, lahirnya tidak ditandai
badai, melainkan udara lembut dan senyum manis. Hangat. Hampir kudus, malah.
Pagi ini keraguan saya mendadak hilang. Senyap. Tak ada suara-suara
ganjil yang menusuk di hati saat saya memikirkan jalan-jalan itu, yang
gerbangnya akan saya masuki, sebentar
lagi. Tidak ada. Yang ada hanya
keheningan yang menyenangkan. Membebaskan.
Kenapa tiba-tiba keraguan saya memutuskan angkat kaki pagi tadi?
Bukannya saya tidak mencoba sebelumnya untuk meredakan keraguan itu. Saya sudah
memberikan argumentasi terbaik tempo hari disini. Tapi ternyata saat itu,
argumentasi tidaklah cukup. Kenapa sekarang?
Lalu saya berdialog dengan hati.
Mungkin, Kesadaran tak
memberi kita cukup ruang untuk mengurai keraguan atas pilihan yang akan kita
ambil. Mungkin kesadaran hanya memungkinkan kita memikirkan konsekuensi atas
sebuah pilihan, bukan meredakan keraguan. Mungkin, selama ini, Kesadaran hanya
mampu menenggelamkan keraguan ke sungai hitam di otak kita.
Tapi keraguan yang
tenggelam itu tidak mati. It’s very much alive. Dia hanya didorong ke sudut gelap, diberi makanan dengan setengah
hati, dan disodok-sodok saat berani menyembul ke permukaan. (Saat naik ke permukaan, kita lalu merasa
terdzolimi, sakit hati, bingung, galau)
Tapi kita tidak
bertanya kenapa dia tidak mati. Kita cukup puas dengan memaki-maki. Lalu seperti
seluruh hal buruk yang terjadi pada diri kita, anggap saja ‘dosa’ itu tak
pernah terjadi, dan segera nurani kita merasa lebih baik.
Hmm…
Tapi mungkin, menghilangkan
keraguan itu memang bukan wilayah Kesadaran kita. Mungkin memang Kesadaran
tidak punya cukup wewenang untuk menenangkan atau menghilangkan keraguan yang
ada. Mungkin tugas Kesadaran memang menyodok Keraguan ke sudut-sudut otak.
Mungkin memang keraguan itu seperti dosa yang sering kita lupakan dan kemudian (maunya)
benar-benar hilang sering berjalannya waktu.
Mungkin.
Mungkinkah Keyakinan
itu adalah bebannya Jiwa, dan bukan Kesadaran?
Mungkin kita seharusnya
menunda pertikaian Kesadaran atas pilihan-pilihan yang tersedia. Biarkan saja
proses memilih itu menjadi sedemikian rupa galau dan panjangnya, sedemikian
resah dan gelisahnya, hingga sampai di satu titik saat Jiwa akhirnya mampu
memilih sendiri jalannya, lalu kita pun yakin. Terpuaskan.
Mungkin…
Saya berhenti disitu. Rasanya tidak perlu lagi saya berusaha
memaknai apa yang saya alami. Jiwa saya sudah mengambil pilihan.
Dan saat jiwa akhirnya memilih, seluruh resah terasa tak berarti
lagi.
Ragu dihapus. Habis. Punah. Alhamdulillah.
@dinarkarani
0 comments:
Posting Komentar