Anak Pertama: Why Is It A Priviledge And Simultaniously A Pressure?

/ 13 Oktober 2011 /
Tulisan kali ini adalah momento pembicaraan saya dengan seorang teman melalui BBM. Ceritanya, saat itu saya baru aja selesai dengerin curhat orang tua tentang pernikahan impian saya. Bukan pernikahan yang saya impikan loh, tapi pernikahan impian anak mereka. ( ´∀`)

Ide mereka tentang pernikahan yang bermakna-spesial-luarbiasa, (yang saya tangkap) adalah sebuah pernikahan yang grandeur, yang selain dihadiri oleh keluarga dan teman, juga dipenuhi oleh rekan kerja mereka (yang saya ga kenal), undangan VIP dan VVIP (yang saya ga kenal juga), dan mencerminkan pernikahan impian mereka yang ga kesampaian saat mereka nikah dulu. (^__^")

Saya tak berlama-lama menyesali nasib, karena tak lama status seorang teman mencuri perhatian saya: "Anak percobaan".

Dibawah ini saya copas pembicaraan kami, dengan perubahan seperlunya untuk menghindari identifikasi (hehe)


Saya       :               Hah, kenapa anak percobaan?

Dia          :               Biasalah.. Biasanya anak pertama kan jadi anak percobaan...

Saya       :               ... Aku juga ngerasa gitu.

Dia          :               Iya kan...?

                                It's a privilege and simultaniously a pressure


Pembicaraan singkat ini bener-bener menekan tombol mikir saya. Iya ya, saya anak pertama. Apakah perilaku orang tua saya ini ada hubungannya dengan saya yang menjadi anak pertama?
Lalu pertanyaannya berevolusi menjadi: Kenapa anak pertama adalah berkah sekaligus beban?

Setelah melepaskan ego dan menempatkan diri saya dalam fresh point of view (fenomenologis banget), saya mencoba memosisikan diri saya pada sudut pandang orang tua. Dan inilah yang saya dapatkan:


Picture
Anak pertama adalah berkah, karena kita lah buah cinta orang tua yang kehadirannya dinanti-nanti, yang muncul saat mereka masih muda dan penuh gairah, naif sekaligus penuh rencana.  Anak pertama itu spesial.

Ketika kita lahir, mereka beradu-pandang lalu membusungkan dada dengan kesombongan lembut ala orang tua: "Inilah anakku." "Dialah pembawa pedang dan perisai harapan kami." Bersama itu, lahir pula harapan-harapan mereka, tentang bagaimana kehidupan si anak kelak. Dan rajutan mimpi ditenun untuk sang buah hati.

Mereka baru belajar menjadi orang tua, jadi wajar mereka terlalu banyak memberi arahan dan tekanan karena ingin si anak ini sempurna. (Butuh satu orang anak lagi atau belasan tahun parenting untuk menyadari bahwa tidak ada anak yang sempurna, hehe). Ketika anaknya masuk sekolah, mereka begitu bersemangat mencari informasi untuk dapat memasukkan kita ke SD terbaik, SMP terbaik, SMA terbaik, dan Universitas terbaik. Kalau bisa masukin juga ke kursus-kursus terbaik yang prestisius. Saat berulang tahun, sebisa mungkin mereka berikan hadiah yang terbaik semampu mereka, dan besertanya dirajut pula harapan-harapan baru.

Begitulah. Jadi pantaslah jika sang anak merasa beban harapan orang tua ditanggung begitu berat. Terutama oleh anak pertama, karena dalam hidupnya lah hal-hal yang pertama terjadi dalam kehidupan orang-tuanya muncul.

Jadi, kembali ke pernikahan impian, mungkin itu juga usaha keras orang tua untuk mewujudkan pernikahan anak impian mereka. Mereka punya mimpi tentang bagaimana mereka akan melangsungkan pernikahan anak mereka, yang dalam kasus saya, privilege ini diberikan kepada anak pertama.


Picture
Setelah saya pikir-pikir, tidak buruk-buruk amat. Ini kan impian mereka, apa salahnya sih membantu orang tua mewujudkan mimpi mereka? I just have to play along with it. I'm sure it will be great!

Lalu bagaimana dengan pernikahan impian saya? Ya, impian itu saya tunda dulu lah, dan diwujudkan pada pernikahan anak saya nanti. Hahahhaha!

*Maaf ya Nak, I have a dream too...*

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger