Cahaya dari Timur: Pasang Surut Ilmu Pengetahuan

/ 1 Agustus 2012 /
Cover depan

Saat jalan-jalan ke Gramedia beberapa waktu lalu, saya dan suami memilih tema sejarah untuk reading session kami berikutnya. Banyak buku-buku menarik, tetapi kami kepincut dengan dua buah buku, Cahaya Dari Timur dan Babad Tanah Jawi. Berhubung ulasan mengenai Babad Tanah Jawi sudah bertebaran di internet, pada post kali ini saya hanya mengulas Cahaya Dari Timur. :)

Buku ini adalah terjemahan dari karya John Freely, seorang renaissance man, seorang fisikawan, guru dan penulis lebih dari 40 buku, dan telah tinggal di Turki selama 50 tahun. Lihat profilnya disini.


Ngaku deh, biasanya kalau kita membahas Ilmu Pengetahuan, kita hanya menyebut masa Yunani (yang nama tokohnya berakhiran -les-les,atau -ix-ix seperti Asterisk dan Obelix, hehe), Masa-Masa Kegelapan (hanya sedikit tokoh, itupun dibungkam), KEMUDIAN Renaissance (Aquinas, Fibonnaci, dan sebagainya). Cuma tiga tahapan ilmu pengetahuan.

Jaraaang sekali kita mengungkit tentang masa-masa dimana para pemikir aktif seperti Al-Farabi, Al-Kindi dan Ibnu Sina menelurkan puluhan karya. Padahal, tanpa pengaruh ilmu pengetahuan Arab-Islam, mustahil terjadi Renaissance di Eropa. Lewat bukunya ini, John Freely berusaha meluruskan pandangan tersebut, dan mengajukan pemahaman baru : Era Yunani - Masa Keemasan Islam - Renaissance untuk menyebutkan sejarah sains.


Pasang-Surut Ilmu Pengetahuan

John Freely membuka bukunya dengan bahasan mengenai pengembangan ilmu pengetahuan di Yunani,  tentang para filsuf yang bekerja sendirian maupun berkelompok untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keduniawian. Orang-orang Pagan ini berkontribusi besar pada temuan-temuan filsafati dan turunannya (kelompok ilmu pengetahuan lain seperti logika, matematika, fisika, metafisika, dst).

Gemilang Ilmu Pengetahuan mengalami kemunduran di era Romawi Kristen, saat para filsuf pagan dikucilkan dan dibunuh karena bertentangan dengan doktrin Gereja, serta karena kepercayaan paganisme mereka. Titik terendahnya adalah saat perpustakaan terbesar di Alexandria dibakar oleh massa kristen yang marah. Untungnya, beberapa karya Yunani dan beberapa filsuf berhasil menyebrang ke dunia tengah, dan memunculkan gairah filsafati dari otak-otak brilian Arab-Islam.

Melalui penerjemahan, pengkajian, dan perdebatan ilmiah di madrasah-madrasah di Kairo, Al-Andalus, dan Maghrib, para pemikir dan ilmuwan Arab-Islam meneruskan tradisi ilmu pengetahuan. Seperti para pendahulunya dari Yunani, banyak dari para ilmuwan ini adalah seorang polimath alias orang yang mahir di berbagai disiplin ilmu alias jenius alias generalis yang spesifik (hehe, maafkan kontradiksinya)

Perlu dicatat, dalam buku ini John Freely mengelompokan seluruh tokoh-tokoh ilmuwan di wilayah Arab sebagai ilmuwan/pemikir Arab-Islam. Jadi, ilmuwan yang kita bicarakan bukan dari ras Arab saja dan bukan Muslim saja, tetapi juga dari Yahudi, Kristen dan ada juga dari kaum pagan Persia. Mereka semua berkontribusi menelurkan karya-karya jenius dan orisinal di bidang yang amat luas. Beberapa diantara mereka malah menjadi legenda seperti Al-Jazari. 
Autmaton Perahu Musik karya Al-Jazari

Sayangnya, kepopuleran ilmu pengetahuan Arab-Islam mencapai titik balik pada masa Al-Ghazali. Al-Ghazali, sang eks filosof yang menjadi sufi, menghujam argumen-argumen ilmu pengetahuan yang digagas oleh para pendahulunya tepat di jantung, Iman. (Hmm, rasanya pernah baca di paragraf atas...)

Pemikiran Al-Ghazali menjadi popular karena didukung oleh situasi Islam yang saat itu sudah terdesak oleh gerakan requencuesta Raja-Raja Katolik dan pendudukan bangsa Mongol. Dari keputus-asaan tersebut  muncul gerakan untuk melupakan ilmu pengetahuan dan berfokus ke penyucian diri (sufisme/tasawuf) dan agama. 

A.I Sabra, seorang professor sejarah ilmu pengetahuan, menuturkan hasil observasinya atas kemunduran ini, beliau menyatakan bahwa pandangan yang berlaku mulai dari Al Ghazali dan jaman sesudahnya adalah bahwa "orang berpendidikan diciptakan agar bisa semakin dekat kepada penciptanya", yang artinya 'bukan hanya pengetahuan agama yang lebih tinggi peringkatnya dan lebih patut dipelajari dari semua bentuk pengetahuan lainnya, namun juga semua bentuk pengetahuan lain harus dihubungkan dengan agama.'. Sabra melanjutkan:

Doktrin mengenai ilmu pengetahuan terdiri atas dua jenis: Doktrin yang bertentangan dengan agama yang tentu harus ditolak, dan doktrin yang mempelajari kandungan umum objek-objek material, (yang kedua) itu dapat diabaikan saja, karena tidak ada ruginya sama sekali.   
Hanya ada satu prinsip yang harus menjadi pegangan di saat seseorang harus memutuskan apakah suatu cabang ilmu layak dipelajari atau tidak, yaitu bahwa 'dunia ini adalah lahan untuk ditaburi bagi generasi berikutnya', lalu Ghazali mengutip salah satu hadist Nabi, "Semoga Tuhan melindungi kita dari ilmu yang tidak berguna".  
Hasil akhirnya adalah sebuah pandangan instrumentalis dan agamis dari semua ilmu pengetahuan duniawi yang diijinkan. Ini adalah pandangan yang mengikuti masuknya ilmu logika dan matematika serta pengobatan, walau terbatas, ke sekolah-sekolah madrasah, dan masuknya ahli astronomi ke masjid walau dengan persyaratan khusus. (hlm. 396)

Dengan menghilangnya sifat kritis dari masyarakat Arab-Islam, dan karena kekangan pengkajian di madrasah-madrasah dan institusi pendidikan lainnya, runtuhlah tradisi ilmu pengetahuan Arab-Islam. Tradisi ini dilanjutkan oleh pada pemikir Eropa yang memasuki jaman Renaissance.

Kesimpulan

Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari buku ini?

Yang saya pahami begini, ilmu pengetahuan hidup dan berkembang dari sifat kritis manusia, dan hilangnya sifat kritis ini berarti kematian ilmu pengetahuan.

Sebagaimana yang kita lihat dalam masa hidup kita saat ini, paham Al-Ghazali masih tumbuh subur di kalangan luas, memagari langkah pengembangan ilmu serta memagari perkembangan kebijak-sanaan mereka sendiri. Bagaimana bisa menjadi bijaksana bila tradisi diskusi ilmiah dikungkung oleh keyakinan atas doktrin (yang belum tentu benar)?

Saya tidak mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari agama, itu sekuler namanya. Yang saya usulkan adalah adanya revolusi pemikiran dalam tradisi ilmu pengetahuan kita (muslim), yang tadinya antikritik menjadi prokritik. Dalam urusan agama maupun ilmu pengetahuan, budayakan sifat kritis. Bukankah cuma satu yang tidak boleh kita kritisi, yaitu mengenai zat Allah?

Mari kita upayakan budaya pengkajian dan diskusi, yang bukan bertujuan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk menemukan kebenaran. Jika kesepakatan atas satu kebenaran tidak tercapai, setidaknya kita sama-sama tahu bahwa kita berusaha untuk memaknai, dan perbedaan itu adalah pemaknaan kita atas kebenaran.


@dinarkarani

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger