Saat Jam Memutuskan tuk Berhenti Bergerak

/ 23 September 2012 /

Gerak jam berhenti di angka 12. Mungkin bosan dengan perjalanan yang itu-itu saja. Wangi apel segar menyeruak dari pengharum ruangan yang berada di atas meja. Kuhela nafas panjang-panjang… Kutatap nanar jendela kecil di depanku, tempat kata-kata bermunculan dari tiada, sambil sesekali menghirup teh vanilla yang rasanya tidak manis-manis amat. Setelah selalu diburu waktu untuk mengerjakan hal-hal penting hingga terengah-engah dan tak punya waktu tuk yang lain, ini adalah kesempatan emas. Aku bisa melakukan hal yang terpenting, karena aku punya seluruh waktu di dunia! 

Jadi kututup jendela-jendela laporan dan skema dan gambar, lalu terbentanglah layar putih kosong.


Tidak perlu menunggu lama, si Aku yang terpendam muncul di layar sambil menatap tajam, lalu duduk di sofa kulit. Dengan gaya psikolog kepada pasiennya, dia membuka pembicaraan.


“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Hai juga, terimakasih sudah datang… (menghela nafas) Aku merasa lelah.

“Mengapa?”
Yah… karena aku selalu bekerja, melakukan hal-hal yang bahkan aku sendiri tidak tahu apakah aku benar-benar ingin melakukannya atau tidak.

“Memangnya apa yang kamu lakukan disini?”
Aku berusaha membantu orang untuk membantu dirinya sendiri.

“Apakah sejauh ini usahamu berhasil?”
Aku rasa belum, aku lelah karena usahaku selalu terbentur pada sikap atau motivasi orang lain.. apa mereka mau membantu dirinya sendiri atau tidak.

“Apakah kamu benar-benar ingin membantu mereka?”
Ya, karena dengan membantu mereka aku juga membantu diriku sendiri. Kau tahu aku selalu ingin berperan sebagai problem solver, think tank, agent of change, pembaru, penyadar. Dan kurasa itu akan aku raih dengan membantu mereka dengan masalah-masalah mereka… Aku ingin membantu mereka untuk kepuasan pribadi juga kurasa…

“Sudah berapa lama kamu melakukannya?”
Hmm, lebih dari 3 tahun…

“Apakah kamu puas dengan apa yang kamu capai?”
Cukup puas, yah, sebenarnya tidak juga…  

“Jika kamu ingin membantu mereka untuk mendapatkan kepuasan pribadi, dan kamu tidak cukup puas, lalu apa yang menahanmu?”
Yah.. Tanggung-jawab besar yang kubebankan pada diri sendiri, bahwa aku harus keluar dengan meninggalkan sesuatu yang lebih baik dari ketika aku masuk. Aku selalu berusaha untuk itu. Dan aku merasa wajib untuk memantau dan memastikan perubahannya hingga selesai.

“Tapi, mengapa?”
Maksudmu?

“Mengapa kamu harus memastikan perubahan itu terjadi hingga usai? Bukankah itu tanggung-jawab yang terlalu besar?.”
Entah… Memangnya tidak harus?

“Tentu saja tidak! Kau bisa membantu orang untuk membantu dirinya sendiri, selama orang itu mau membantu dirinya sendiri. Kewajibanmu hanyalah menunjukkan jalannya. Bahkan Nabi tak diberi tanggung-jawab sebesar itu!”

“Keputusan apakah mereka akan menerima jalan itu atau tidak adalah tanggung-jawab mereka. Apakah mereka mau berubah atau tidak, itu ada pada pundak mereka. Tugasmu hanya berusaha dengan maksimal agar jalan itu mudah ditemukan dan patut dipertimbangkan. Jangan menyanjung diri sendiri.”


Lalu pembicaraan itu berhenti. Si Aku menghilang dari layar, dan aku hanya bisa memandangi cerminan wajahku sendiri, yang tampak lelah dan kusut dan terhenyak. Benar juga, aku tak punya tanggung-jawab sebesar itu. Bukankah aku sudah melakukan apa yang aku bisa? Terlalu naïf jika aku mengira aku bertanggung-jawab atas keputusan akhirnya. Dan memangnya siapa aku?

Bukankah Tuhan berfirman, bahwa kewajiban kita adalah untuk berusaha dengan sebaik-baiknya?Dan jika kita telah berusaha, maka serahkanlah hasilnya kepada Allah.


Lalu jam memutuskan untuk kembali bergerak. Sekonyong-konyong waktu menjadi normal. Dan suara-suara bising menyeruak dari sekitar meja kantorku. Kutatap layar putih, di jendela dimana kata bermunculan. Tapi kali ini dengan senyuman, dan kepala yang lebih ringan dari biasanya. J

@dinarkarani



0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger