Latihan Menulis dengan Metode "Tulis Apa Saja, Saat Kepingin"

/ 28 Juni 2013 /
Hai hai hai haii!
Sudah lama banget skip nulis di blog ini. Gagal deh rencana saya untuk post setiap hari. Ternyata saya ngga punya keberanian sebesar itu (atau lebih tepatnya belum punya) untuk memposting apapun yang ada di kepala tanpa tedeng aling-aling...

Berdasarkan evaluasi terhadap tulisan-tulisan maksa yang saya buat tiga hari berturut-turut, serta masukan dari buku tulisan Om Hernowo selama saya bertapa dari dunia blog, saya jadi paham bahwa rupa-rupanya saya masih belum mampu menulis dengan mengalir, dan masih kebingungan dengan gaya penulisan saya ini.

Naah.. untuk itu, saya membuat proyek untuk diri saya sendiri, dimulai dua minggu yang lalu: Menulis Apa Saja, Saat Saya Menginginkannya. Tidak ada embel-embel 'Setiap Hari', karena ternyata itu yang membuat saya malah jera menulis. Saya biarkan saja kata-kata itu muncul dengan keinginannya sendiri, tanpa harus saya paksa-paksa. Seperti telur barangkali, kalau saya paksa keluar malah jadi telor ceplok dan bukannya anak ayam.

Setelah beberapa waktu, rasanya saya tahu karakter penulisan saya seperti apa. Silahkan teman-teman baca dan kritisi tulisan dibawah ini:

Note: Tulisan ini dilahirkan begitu saja. Hanya butuh 15 menit untuk menuliskannya, sesuai proyek saya diatas. Jadi, maafkan kementahannya, I hope you can give me feedback. :)





Untuk Musuh Terkasih,


 
Oke, jadi saya ngga suka sama kamu. Kamu juga ga suka sama saya. Fine, the feeling are mutual. Kita ga perlu saling sapa, dan memang ga perlu menjadi karib untuk bisa mengerjakan proyek bareng-bareng. Kita saling memahami saja, bahwa kita itu utara dan selatan, malam dan siang, hitam dan putih.
Dari sekian banyak hal di dunia ini, kita akui saja, batas-batas kesamaan kita itu tipis. Setipis jarum kompas, setipis subuh, setipis abu.

Kita tahu kita berbeda. Kita paham kita tak saling sepakat. Kita sepakat kita tak pernah bisa akur. Dan itu cukup. Cukup bagi kita bahwa kita terdampar di kapal yang sama, dengan tujuan yang sama, dan waktu jumpa yang lebih lama daripada waktu kita bercengkrama dengan keluarga.
Tapi entah kenapa, dengan segala keriuhan cekcok kita, dengan segala keengganan, segala kekesalan, segala kebencian (Jika saya boleh menyebutnya begitu), saya dan kamu, kita sama-sama tahu bahwa kita sama-sama tak terganti. Setidaknya itu menurut saya. (Kamu pun boleh tidak setuju)

Saya kira begitu. Segala jenis kerumitan hubungan transaksional yang kita anggap sebagai profesional,  rupa-rupanya malah berhasil membuat saya berkaca jauh ke dalam diri saya sendiri. Justru lebih berhasil ketimbang hubungan saya dengan orang yang saya kasihi. 

Hubungan kita yang jauh dari kata hangat itu justru berhasil membuat saya lebih memahami diri saya sendiri, dan apa posisi saya di dunia ini. Lewat kemarahan saya kepadamu, justru saya merenungi bagian diri yang mungkin akan berbuat sesuatu yang sama denganmu. Dengan segala ketidaksetujuan saya terhadap tingkah-lakumu, justru saya paham langkah apa yang harus saya perbaiki untuk diri sendiri.  Kamu, dengan caramu sendiri, telah membuat saya lebih dewasa.

Jadi diatas segala kebencian saya padamu, saya justru harus berterima-kasih. Terima kasih karena kamu telah membuka mata saya pada cermin buram itu. Membuat saya menyadari siapa bayangan yang tersenyum dibalik itu, siapa gajah yang bersembunyi di kelopak mata ini. Terima kasih karena telah membuat saya memahami bahwa kebencian saya padamu sesungguhnya muncul dari kelemahan diri ini.

Saya menyadarinya. Dan saya harap, kamu pun begitu. 

Mari kita sama-sama saling tidak menyukai, tapi juga saling mensyukuri.



How? Sudah cukup mengalir ga? 
Untuk yang kenal saya secara langsung, pasti tahu tulisan ini non-fiksi. Hehehe... Tapi memang begitu kan, dalam beberapa segi kehidupan, Musuh adalah teman yang terbaik.

See you when I see you!

@dinarkarani

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger