Catatan Seorang Gadget Freak

/ 2 Oktober 2012 /
Dorongan untuk bela-beli itu datang lagi. Kali ini datang dari gadjet super sleek besutan Samsung... Galaxy Note... yang hendak dijual empunya karena mau ditukar dengan kamera DSLR. Otak langsung berpikir keras, 'coba kita lihat... jumlah uang di bank kalau dikurangi harga yang ditawarkan itu jadi sekian... terus ada 3 kali cicilan elektronik sebelumnya, dikurangi investasi dan tabungan... dikurangi konsumsi...' Lalu moment of truth: tak ada dana untuk itu...

Sedikit kecewa sih, tapi kalau dipikir-pikir, saya seharusnya bersyukur, karena momen-nya tepat betul antara masuknya penawaran dengan saat saya ga punya banyak uang. Kalau saja saya punya 'kelebihan' dana, bisa-bisa saya akan masuk kedalam pusaran konsumsi yang tiada akhir.

taken from www.squidoo.com
Sejak saya punya penghasilan sendiri (kurang lebih 3 tahun), saya sudah membeli 8 gadget, yang 6 diantaranya adalah handphone, smartphone dan tab. Masing-masing hanya saya pakai maksimal 6 bulan, lalu saya beli yang baru, sementara yang lama saya simpan atau kasihkan pada orang lain.

Kalau sudah begitu saya merasa hebat, merasa puas. Padahal penghasilan saya tidak seberapa, dan ada hal yang lebih penting dimana uang saya bisa berguna ketimbang belanja gadget (seperti sedekah misalnya, atau menabung untuk lanjut kuliah). 

Memang, biasanya tidak lama kemudian saya akan merasa bersalah dan bodoh karena telah membelanjakan uang untuk hal-hal tidak penting. Yang justru mendorong saya untuk merasa tidak puas dengan gadget yang baru saya beli, dan mencari gadget baru yang saya kira bisa lebih cocok dengan hati saya. Daan lingkaran itu berlanjut.


Ada satu hipotesa psikologis yang saya ingat, tapi saya tidak yakin dari mana sumbernya, yang menyatakan bahwa sifat konsumtif sebetulnya berhubungan erat dengan tekanan jiwa. Hampir sama kasusnya dengan keranjingan makanan saat merasa tertekan. Semakin tertekan, semakin banyak makan. Semakin banyak makan, semakin tertekan, dan lingkaran ini berlanjut terus hingga tak terkendali. Dan menurut beberapa ahli kesehatan, ini adalah bentuk kelainan jiwa.
S**t, jadi saya sakit jiwa??

Yah, tidak ada orang yang benar-benar normal, karena setiap orang punya derajat kegilaannya masing-masing. Dan jika memang saya sakit jiwa, hanya ada satu cara untuk menyembuhkannya, yaitu dengan menanggalkan jasad dan menyelam ke kedalaman jiwa. Tentu saja yang saya maksud bukan bunuh diri, tapi menyelami diri. Berani menghadapi kegelapan di dalam, lalu bertanya dengan penuh kesungguhan dan tekad baja: "Mari kita berkenalan, aku tuanmu. Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan? Apa yang kamu khawatirkan? Apa yang salah?" Seperti saat Naruto berhadap-hadapan dengan siluman rubah di dalam dirinya.


@dinarkarani  



0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger