Epiphany

/ 13 Oktober 2011 /

Picture
Terkadang hanya perlu satu kejadian untuk membuat kita sadar mengenai hidup. Sebuah epiphany. Yang menyulut keputusan dari otak yang koma sekian lama.

Sebuah urgensi bahwa kita tak boleh berdiam diri.

Dalam kasus saya, epiphany ini muncul berkali-kali tempo hari.

Ephiphany Nomor Wahid

Sudah lama saya mendambakan kesempatan untuk bisa lebih berkontribusi. Hal ini karena pekerjaan saya sebelumnya amatlah membosankan. Hanya control dan maintenance, meskipun terkadang jiwa saya hidup lalu membuat proyek-proyek berbobot. Tapi jika dibandingkan, sebagian besar waktu saya di kantor tidak efektif. Tidak berlebihan jika saya bilang, saya telah lumpuh secara mental.

Juli, datanglah panggilan dari sesepuh perusahaan, seorang yang saya hormati. Beliau meminta saya untuk mengambil bagian di Marketing Communication. Wow, sebuah tantangan baru! Saya yang sejatinya selalu mencari tantangan dan benci stagnasi, menjadi bergairah dan bersemangat. Tanpa berpikir dua kali saya mengangguk dan menyanggupi.

Tiba-tiba saja comfort zone saya bergetar, gempa. Saya didorong kesana-kemari untuk belajar. Kembali ke nol. Kembali ke gelas kosong. Penuh tekanan, tangisan dan tidur malam yang tidak berkualitas. Tetapi saya belajar banyak hal. Bukan hanya soal pekerjaan itu sendiri, tetapi tentang diri saya sendiri. Berlian itu lahir dari panas tinggi, katanya. Untuk pertama kalinya sejak beberapa lama, saya melihat diri saya sebagai pribadi yang lebih bijaksana.

Bila sebelumnya saya short-tempered, saya jadi bisa menahan diri dan tetap tersenyum. Bila sebelumnya saya cenderung introvert, saya jadi social person. Bila sebelumnya saya gampang lelah, stamina saya melesat seperti roket! Terberkatilah Markom dan atasan saya!

Epiphany Nomor Dua

Pekerjaan Markom ternyata tidak berlangsung lama. Di akhir Agustus, saya dipanggil 'pulang' ke departemen semula. 'Hanya untuk sementara, sampai akhir 2012.' kata atasan saya. Tidak masalah, senyum saya dalam hati, karena saya juga butuh liburan dari pekerjaan yang tak kunjung usai. Lagipula pekerjaan saya di departemen asal belum selesai, dan masih butuh konsentrasi saya. Setidaknya saya akan menyelesaikannya di Desember 2012. Saya bertekad untuk menyelesaikannya secepat dan sebaik mungkin.

Tapi rencana kecil saya dikagetkan oleh kejutan lainnya. Di awal September, saya diberitahu bahwa atasan saya melepas sepenuhnya saya ke bagian Marketing Communication. “Horee!” Sorak sorai saya dalam hati! Akhirnya saya bisa berkontribusi! Akhirnya saya bisa membuat diri saya berguna disini! Akhirnya ada hal sungguhan yang bisa saya lakukan!

Saya benar-benar menjadi orang Markom, bukan hanya membantu. Saya punya plan A, plan B, plan C. Rencana belajar A, B dan C. Markom tempat yang menggairahkan, penuh daya kehidupan. Jadi saya tidak sabar memulai peran baru sebagai asisten manajer Markom.
Picture
Tiba-tiba, lewat satu minggu dari itu, runtuh semua rencana-rencana saya.

“Maaf, kayaknya kamu ga jadi pindah. Bapak bilang kamu ga boleh kemana-mana. Tetap di BPI*.” kata mantan calon atasan saya. Saya terkejut. Kenapa baru bilang saat saya bertanya soal SK? Kenapa tidak sebelumnya? Apa yang membuat mereka begitu egois??

Saya marah. Meski wajah saya tenang.
Saya kecewa. Meski suara saya tak berubah.
Saya tak peduli lagi.
Lebur.
Saya tak punya rencana. Saya hampa.


“Saya butuh kamu untuk menjadi backbone perusahaan ini. Saya ingin kamu nanti bisa menjadi penerus-penerus pimpinan. Tapi saya ingin kamu berusaha untuk itu. You have to earn it!” nasihat sang Bapak. Dia menjelaskan visinya mengenai apa yang saya lakukan. Dan saya hanya mendengarkan dan berusaha memahami.

Tapi rasa kecewa membuat saya tidak bisa memahami jalan pikirnya. Tidak bisa mengangkat hati saya yang seharusnya merasa terberkati karena diplot jadi salah satu pimpinan (meski sang Bapak selalu mengatakan itu kepada setiap orang). Yang ada hanya rasa yang semakin bingung. Semakin kecewa. Apa yang harus saya lakukan? Rencana apa yang bisa saya bangun?

                  Tidak, kurasa tak bisa kulihat jembatan
                  antara aku dan bayangmu
                  tak ada jalan pintas atau pohon doyong
                  tempatku menjejak sebelum lompat.

                  Hanya jalan memutar
                  Turun ke lereng
                  lalu naik ke tebing curam

                  Diujung sana tak bisa kulihat
                  Pekat gumpal cahaya
                  Hilang sudah semua
                  Samar

                  “Di akhir perjalanan” Dinar Surtikarani
                  19 Sept 2011

Setelah mengambil cuti satu hari, alam bawah sadar saya memperbaiki dirinya sendiri. Barulah saya bisa memahami apa kata sang Bapak. Saya bisa melihat jembatannya. Visi sang Bapak, dan misi-misi untuk mewujudkannya. Sedikit demi sedikit semangat saya kembali. Tidak terlambat, saya masih bisa bergerak!

Epiphany Terakhir (Sejauh ini)

Picture
 Biar saya tuliskan saja resume dari apa yang terjadi. Mimpi yang terkucil hanyalah kabut. Mimpi yang dikebiri hanyalah angan kosong. Tidak akan ada apa-apa di ujung jalan, jika jalannya tak akan ada.

Seharian saya dan kolega saya membangun mimpi, visi, misi, rencana kerja. Untuk terhempas begitu saja. Tak akan ada perubahan, imbuh saya dalam hati. Bukan prioritas, timpal orang lain disudut sana. Lalu saya menundukkan kepala, miris. Semangat saya tak kembali.

Lalu penghayatan itu muncul ke permukaan, bahwa saya selalu punya pilihan. Saya, demi Allah, selalu punya pilihan. Teringat tulisan Leo Babauta beberapa waktu sebelumnya, “When you are forced to cut back, you can moan, or you can find joy. We chose the path that made us happiest.”

We have to chose the path that made us happiest.


*BPI = Business Process Improvement

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger