Manusia Pembelajar

/ 13 Oktober 2011 /
Ladies and Gentlements, saya bukan orang yang sangat murah hati atau perhatian, bukan juga orang yang sangat pelit atau keras hati.

Saya rasa saya orang yang biasa-biasa saja, cukup. Cukup murah hati, cukup perhatian, cukup pelit, cukup keras hati. Hehehhehe.... Amit-amit deh~

Meski saya ini serba 'berkecukupan', saya rasa saya punya kelebihan dalam bidang Personal Development. Jika saya salah, saya mengakuinya, lalu belajar dari kesalahan itu. Saat saya jatuh, saya belajar untuk bangkit, dan menghindari kejatuhan yang sama. Saat saya menyakiti orang lain, saya marah (lho), terus minta maaf, lalu bertekad untuk tidak mengulangi.

Dari setiap poin-poin itu, saya selalu belajar. Terus menerus. Dari setiap kesalahan, kejatuhan, pendzoliman.


Picture
Manusia Pembelajar
Saya rasa itulah sikap utama yang paling penting untuk dimiliki manusia pembelajar. Kita tidak harus menjadi sempurna sekarang. Karena 'kesempurnaan' itu diraih dengan memperbaiki banyak kekurangan. Bagaimana kita bisa menyempurnakan, saat kita terlalu berhati-hati dalam seluruh aspek hidup? Terlalu berhati-hati sampai-sampai kita tidak mengenal siapa kita sebenarnya?

Berani kotor itu baik, katanya. Berani berbuat salah, berani menaggung kesalahan, berani belajar, berani bertumbuh. Berani menjadi diri sendiri, dan berani memperbaiki diri. Itulah sikap seorang pemenang.

Oh belum, saya belum menjadi pemenang, tapi saya yakin proses pembelajaran saya akan membawa saya kesana, eventually. :)

Saat Kita Terlalu Berhati-Hati

Saat kita terlalu berhati-hati dalam menjalani hidup, terlalu berhati-hati untuk tidak menyakiti orang lain saat bicara, mengambil jalur cepat di tol, atau berhati-hati untuk tidak berbelanja, saya khawatir kita akan menjadi golongan yang biasa-biasa saja. Kita tidak akan banyak bicara (lalu bagaimana kita bisa menjadi komunikator handal?), kita akan selalu mengambil jalur lambat (lalu bagaimana kemampuan mengemudi kita bertambah?), kita akan kekurangan gizi dan tampak outdated (lalu bagaimana orang akan menghargai kita jika kita tidak menghargai diri sendiri?)

Setiap kita perlu, wajib, harus melakukan kesalahan, untuk mengetahui bahwa itu salah. Post ini bisa jadi salah bagi saya beberapa waktu kedepan, tapi saya tidak akan menyesal. Saya perlu membuat post yang iseng atau tidak berguna, supaya saya belajar mengenai dampak hal yang iseng dan tidak berguna itu. Kalau kita sudah belajar mengenai dampaknya, kita akan memperbaiki cara kita untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

Itulah caranya Hidup. Itulah seninya Hidup.

Penting untuk diingat, “Menjadi-Tidak-Terlalu-Berhati-Hati” bukan sama dengan “Menyengaja-Untuk-Menjadi-Egosentrik”. Tidak, tidak begitu.

Sampai batas-batas tertentu, menjadi egois itu bisa diterima. Tetapi bila lewat dari itu, artinya kita sudah kelewatan. (Ya namanya juga 'lewat' ya pasti kelewatan). Segeralah beristighfar, dan memperbaiki diri.


Lalu Batasan Egois yang Bisa Diterima itu yang Seperti Apa?

Kalau kata pelajaran PPKN jaman SD dulu, egois yang bisa diterima adalah egois yang 'tidak merugikan hak orang lain'. Tentu saja, klau kita mewawancara social circle kita, pasti daftar hak-nya tak hingga, dan justru kontraproduktif. Cara paling praktis untuk mempelajarinya adalah dengan bertindak sesuai judgment kita, lalu minta/pahami tanggapan orang lain di sekitar kita, 'Apakah perbuatan/omongan saya kelewatan?' Jika ya, segera meminta-maaf, lalu jangan ulangi lagi.

Menjadi Manusia Pembelajar itu butuh keberanian dan energi yang besar. Berani untuk bertindak, berani untuk berbuat salah, berani meminta maaf. Tapi bukankah lebih baik menjadi Manusia Pembelajar ketimbang Manusia Biasa-Biasa Saja?

Manusia Pembelajar Bukan Menciptakan Kesmpurnaan, tapi Menciptakan Peluang

Picture
The Thinker: Pembelajar atau Filosof?
Seperti yang saya lemparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, tugas kita sebagai manusia pembelajar bukanlah untuk menciptakan kesempurnaan. Jika kamu berpikir seperti ini, niscaya kamu bakal terkekan, merasa sangat overwhelmed, dan letih karena merasa harus menjaga 'idealisme' serupa. Percayalah, I've been there, dan rasanya tidak nyaman.

Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang 'terdistorsi' dari citra keilahian. Ia Maha Penyabar, manusia hanya Sabar. Ia Maha Pengampun, manusia hanya bisa memaafkan. Maka saya rasa Tuhan tidak menghendaki kesempurnaan bagi manusia. Jika tidak, pastilah Ia menciptakan kita sama dengan malaikat. Tiba-tiba terlahir sempurna.

Jangan salah, saya tidak bilang bahwa kita tidak perlu mengejar kesempurnaan. Justru sempurna-nya manusia itu karena ia tahu bahwa ia tidak sempurna, dan ia berusaha untuk menjadi lebih baik. Jika seseorang merasa ia sudah sempurna, maka selesai! Tak ada pembelajaran lagi.

Tugas kita sebagai Manusia Pembelajar adalah untuk secara konsisten Menciptakan Peluang untuk menjadi lebih baik (sempurna). Seorang mahasiswa tidak akan lulus dengan gemilang, dalam artian memahami mata-kuliah yang dipelajari, jika ia melewatkan kesempatan untuk berdiskusi, mensimulasi, dan menguji-coba ilmu yang dia dapat.

Mahasiswa harus menciptakan peluang untuk bisa belajar dengan lebih lengkap, lebih mendalam, lebih baik, dengan berkumpul dan berdiskusi, berorganisasi, berdebat, membaca teks, dan sebagainya.

Begitu juga kita. Kita harus mencari peluang. Berani untuk mengambil kesempatan, dan berani untuk menerima konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Tidak apa-apa bila pilihan itu salah, karena dari situlah kita benar-benar belajar. Setiap kesalahan yang kita ambil adalah peluang untuk memperbaiki diri. Ambil positif-nya saja, dan terus melangkah. Jangan pernah takut salah.


Labrak!

Terimakasih kepada Sir Andrias Harefa, yang telah menciptakan istilah Manusia Pembelajar. :) GBU.

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger