Waktu

/ 13 Oktober 2011 /
Picture
http://ejomlexus.files.wordpress.com

Seandainya saja saya dapat mendengar apa yang dikatakan Waktu, mungkin saya akan mendengar teriakan-teriakan marah darinya, “Hei Dinar, bangunlah! Hiduplah! Menjadilah!

WAKTU tak pernah berhenti untuk apapun, untuk siapapun. Meski saya melupakannya, atau terlupa darinya. Waktu terus menyisip sedikit-sedikit, bak gelas pasir yang kita lihat di film the Sands of Time.

Waktu dan Kita

Seringkali kita lupa, bahwa waktu sesungguhnya sangat terbatas. Apa yang telah terlepas, tak akan pernah bisa ditangkap kembali. Yang sudah berlalu, tetap abadi di masa lalu. Banyak orang yang sia-sia mencari cara untuk kembali ke masa lalu, hidup di masa lalu, hingga pada akhirnya mereka berakhir di rumah sakit jiwa atau paling banter di rumah-rumah pemulihan.

Pernahkah teman membaca novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami? Jika ya, mungkin teman sepakat, bahwa novel ini -selain menggambarkan gairah vulgar anak-anak Tokyo jaman revolusi- menggambarkan bagaimana hubungan Manusia dan Waktu tidak pernah setara. Waktu selalu ada di samping kita, tapi tidak pernah berjalan sejajar, ia berjalan bersama kita, tetapi selalu satu langkah di depan.


Picture
http://3.bp.blogspot.com
Saya membayangkan Waktu sebagai saudara kembar yang sedang melakukan perjalanan. Waktu sama persis dengan kita, hanya saja ia lebih superior. Sesekali kita bertanya arah padanya, tapi dia hanya akan mengibaskan bahunya dan berkata, “terserahmu saja.”. Saat kita minta pendapatnya, dia hanya berpikir-pikir lalu berkata, “mungkin saja.”.

Seberapa cepat langkah kita, kita tak bisa mendahuluinya. Jika kita ragu dan memutuskan untuk berhenti, ia tak menengok ke belakang pun tidak memelankan langkah. Waktu tak pernah berhenti, maka kita pun tergesa-gesa mengejarnya. Semakin sering kita berhenti, semakin sering pula kita bersimbah peluh berusaha mengimbangi sang Waktu.


Saudara kembar yang misterius. Mungkin sesekali kita harus mengajaknya minum-minum sampai ia mabuk, dan bersedia melantur tentang apa yang ia lihat di depan sana. Tapi, mungkin apa yang dia katakan benar-benar omong kosong yang tak perlu didengarkan.

Apa gunanya mengetahui “hari ini cuaca cerah, dan kamu akan mendapatkan sebuah keberuntungan beberapa langkah ke depan.”, lalu kita menjadi waspada hanya pada jalan di depan sana, dan melewatkan pemandangan surealis di sekitar kita?

Kurasa bukan kata-kata macam itu yang kita ingin dengar...

Kurasa yang kita butuhkan adalah saudara kembar yang mampu menampar wajah kita saat kita ingin berhenti. Ia berjalan di depan, agar kita selalu termotivasi. Ia tak memelankan langkah agar kita paham pentingnya perjalanan.

Sesekali, mungkin kita juga harus berhenti berbicara dan benar-benar mendengarkan, karena siapatahu diantara langkahnya yang tegap, ia berteriak memotivasi “Bangun! Bergerak! Ayo, perjalanan masih panjang!”.



Ah, saudara kembar yang superior, selamanya kami berhutang padamu.


0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger