Everything Happens For A Reason

/ 21 Oktober 2011 /
Judul post ini mungkin klise. Tapi mau bagaimana lagi, itu memang benar. Tidak ada istilah 'kebetulan' di dunia ini. Yang ada hanya “pilihan dan takdir”, atau “takdir dan kesadaran”. Dengan istilah yang lebih mudah dipahami, kita hanya melangkah dalam dua jalur kesadaran, yaitu “memilih” dan “dipilih”. Tidak ada yang lebih baik, atau salah satu benar dan lain salah. Dua konsep ini kita jalani dalam kehidupan, satu diantara yang lain, selalu.

Seluruh pemahaman ini kembali ke dalam dunia perenungan saya, ketika atas ijin-Nya, sebuah kecelakaan kecil menimpa saya.



Pagi itu, saya baru benar-benar berdiri dari tempat tidur pukul 6.30. Dengan kepala yang berat dan tubuh lelah, padahal waktu tidur saya cukup. Untuk alasan yang tidak jelas, saya merasa kepingin bermalas-malasan dan menunda berangkat ke kantor. Jadi, saya turuti keinginan hati itu.

Saya sedang membenahi kerudung saya dan melirik jam di ruang keluarga, pukul 8.10, saat tiba-tiba suara-suara datang dari arah kamar mandi kosong disebelah saya. Pada awalnya suara itu serupa suara seseorang menggerakan tuas keran, jadi tidak saya pedulikan. Tapi ketika suara-suara itu semakin besar dan 'shuuuusshhh!' suara seperti air memancar terdengar, barulah saya menghampiri. Belum sampai saya di pinggir pintu yang terbuka ketika WHUSS!! Api berdansa-dansa dari water-heater dengan kepulan asap tebal yang membumbung disekitarnya!

Hati saya mencelos, panik. Seumur hidup baru kali itu saya melihat kebakaran sungguhan. Reaksi saya hanya satu: Bingung, lalu berlari ke arah kamar orang tua dan dapur sambil berteriak-teriak. Saat itu hanya ada saya di ruang keluarga sementara kamar orang tua dan dapur cukup sound-proofed dari suara luar, jadi mereka tidak sadar ada suara mengerikan yang muncul dari kamar mandi. Sementara saya berteriak panik, dari suara dan kepulan asap yang merangsek keluar, saya tahu api itu semakin besar.

Hal pertama yang saya ingat adalah wajah panik kedua orang tua saya ketika mereka keluar ruangan dan melihat api. Hal kedua yang saya ingat adalah ibu berlari keluar rumah untuk mencabut selang gas, ayah berusaha mendekati api untuk menjauhkannya dari benda-benda mudah terbakar, sedang saya hanya panik membayangkan kemungkinan terburuk.

Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa kecuali water-heater made-in-Cina dan langit-langit kamar mandi yang sedikit menghitam. Setelah selang gas  berhasil dicabut, api membakar sisa gas dan mati beberapa menit kemudian. Meninggalkan kami termenung dan lelah karena serbuan adrenalin serta kepulan asap yang memenuhi rumah.



Dalam perjalanan ke kantor, saya mengendarai mobil sambil terus mengulang kejadian itu. Saya pause, play, fast forward, reverse. Sampai akhirnya saya terantuk oleh sebuah kesadaran, 'Seandainya saya memutuskan untuk bangun lebih pagi, dan berangkat lebih awal, apakah orangtua saya punya kesempatan untuk mencabut selang gas tepat waktu? Atau akankah saya pulang ke rumah yang terbakar sebagian?'
Saat itu juga, saya memuji Allah Yang Mahakuasa...

Bukan kebetulan, saya bangun siang dan merasa perlu menunda-nunda. Bukan kebetulan, saya tidak bisa menemukan kerudung yang tepat dengan busana. Bukan kebetulan, hanya saya yang berada di ruang keluarga saat itu. Sama sekali bukan kebetulan. Jikapun saya merasa harus berangkat lebih pagi, mestilah ada sesuatu yang menahan saya untuk pergi, agar saya tetap bisa menyaksikan kejadian ini dan menjadi alarm untuk kedua orang tua saya.

Everything happens for a reason.
So damn right...

The thing is, selama ini saya merasa bahwa pilihan kita-lah yang menentukan takdir kita. Takdir terletak dalam pilihan-pilihan sadar kita. Tapi ketika saya mundur lebih jauh kebelakang, memeriksa kembali kejadian-kejadian penting dan tidak penting dalam hidup saya, saya tahu konsep itu tidak selamanya benar.

Ada dua wajah takdir. Takdir yang kita pilih, dan takdir yang kita terima. Kita yang memilih takdir, dan Takdir yang memilihkan jalan untuk kita. Bukan 'atau', melainkan 'dan'.

Saat saya mendapatkan pilihan-pilihan, lalu saya memilih, dan dari itu terbukalah jalan-jalan, maka itulah takdir yang saya pilih. Dan saat saya mendapatkan pilihan-pilihan, lalu saya memilih, lalu tanpa saya sadari saya menemukan diri dalam situasi yang tidak saya pilih atau saya maksudkan, maka itu takdir yang saya terima.

Mmm... Cukup bingung?
Hehe, maaf.

Sebaiknya saya bedakan saja nama kedua konsep ini. Jenis takdir pertama, takdir yang kita pilih, adalah qodho. Jenis takdir kedua, takdir yang kita terima, adalah qodar. Atau dalam bahasa kasual, Destiny dan Fate

Kita bekerja keras dan berusaha dengan maksimal dalam setiap langkah kita, untuk meraih tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Saat tujuan diraih, maka itulah qodho/destiny. Kita tidak tahu dan tidak memilih untuk dilahirkan oleh orang tua kita, pun tidak tau kapan kita akan mati, atau hal-hal apa yang akan menimpa kita. Itulah qodar/fate.

Well, saya bukan ahli agama. Jadi, saya tegaskan saja disini, bahwa apapun agama kita, saya yakin kita semua punya konsep yang mirip-mirip. Sepertinya keyakinan mengenai itu sudah default setting dalam otak spiritual manusia. Kita tahu begitu saja bahwa kita adalah kesadaran bebas yang dituntun dalam jalur-jalur Ilahiah. Kita pun tahu begitu saja, bahwa everything happens for a reason, bahwa selalu ada benang merah dalam setiap peristiwa. Atau dalam gaya yang lebih menarik, seperti yang dikatakan mendiang Steve Jobs dalam pidato kelulusan yang terkenal itu:

...Reed College pada waktu itu menawarkan mungkin seni desain terbaik di negeri ini. Seluruh kampus setiap poster, setiap label di laci, adalah tangan indah kaligrafi. Karena sudah DO dan tidak harus mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas seni desain untuk belajar bagaimana melakukan ini. Saya belajar tentang serif dan san serif tipografi, tentang memvariasikan jumlah spasi antara kombinasi huruf yang berbeda, tentang apa yang membuat tipografi yang hebat. Itu indah, bersejarah, artistik halus dalam cara bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa menangkap, dan saya menemukan hal menarik.

Semua ini bahkan harapan dari setiap aplikasi praktis dalam hidup saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendesain komputer Macintosh yang pertama, itu semua kembali kepada saya. Dan kami merancang itu semua ke dalam Mac. Ini adalah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki tipografi ganda atau font proporsional spasi. Dan karena Windows menjiplak Mac, kemungkinan bahwa tidak ada komputer pribadi yang akan memilikinya. Seandainya saya tidak DO, saya tidak akan pernah jatuh di kelas seni desain ini, dan komputer pribadi mungkin tidak memiliki tipografi yang indah yang mereka lakukan. Tentu saja mustahil untuk menghubungkan titik-titik itu sewaktu saya masih kuliah. Tapi itu sangat, sangat gamblang sepuluh tahun kemudian.

Sekali lagi, Anda tidak dapat menghubungkan titik-titik harapan, Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya pada sesuatu intuisi, takdir, hidup, karma, apapun. Pendekatan ini tidak pernah mengecewakan saya, dan itu telah membuat semua perbedaan dalam kehidupan saya. (
www.okezone.com)


(Disclaimer: qodho dan qodar adalah konsep Islam mengenai ketetapan takdir. Tidak ada ayat atau dalil yang membedakan keduanya dengan jelas. Akan tetapi, karena kita diwajibkan untuk berpikir dan menyelami alam semesta, maka saya memberanikan diri menggunakan kedua kalimat ini secara berbeda. Jika benar dari Allah, dan jika salah maka dari diri saya sendiri. :) )

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger