Pilihan: Sebuah Pengungkapan Diri

/ 18 Juli 2013 /


Ketika saya bangun pagi tadi, saya merasa tidak ajeg, merasa tipis, merasa lelah dan hampir putus-asa. Lagi? Pikir saya. Sebab ini bukan kali pertama saya merasakan hal yang sama. Jika kamu bisa membaca seluruh kisah saya dalam novel berseri, maka buku itu pasti sudah ingin kamu lempar sekarang, karena masalah-nya berkutat di hal yang itu-itu lagi, tidak berkembang.

Bagaimana ya, hidup di dunia nyata itu tidak ada tombol pause, kita tak bisa hapus paragraph seenaknya, atau memilih happy ending dalam setiap fase, bahkan kita tidak bisa memilih masalah apa yang akan dihadapi si tokoh utama minggu depan (kalau menciptakan masalah bisa).  Saya, ternyata, bukan penulis kisah saya sendiri.


Semuanya bermula sejak beberapa tahun yang lalu. Dimana saya masih merasa lugu, tidak tahu apa-apa mengenai hidup, dan hanya ingin berusaha untuk mengenal diri sendiri dan tujuan hidup saya. (Tulisan-tulisan saya di awal pengembaraan itu bisa dilihat disini, disini, dan disini.)

Dalam setiap akhir perjalanan kontemplasi saya, saya selalu dapat memungut sebuah makna. Baru atau Lama. Baru, jika itu adalah makna baru atau makna tambahan yang memperkuat makna sebelumnya. Lama, jika itu hanya mengingatkan saya atas makna yang pernah saya ambil sebelumnya.

Sebetulnya hidup itu (seharusnya) penuh dengan kontemplasi. Karena meski jasad kita hidup di tataran fisik, jiwa kita merindukan jembatan transendental, dialog ilahiah. Jiwa kita lapar dan haus untuk menapaki tangga itu, selalu.

Maka ijinkan saya untuk berkontemplasi lagi pagi ini. Mengingat dengan jernih jalur-jalur yang saya pilih, hal-hal yang saya abaikan, yang akhirnya menempatkan saya pada titik terendah, palung terdalam.


Jalur-jalur Yang Saya Tempuh:


  1. Saya menikah. Dan untuk keputusan ini, saya mengabaikan kesempatan kuliah.
  2. Saya memiliki standar yang tinggi. Dan untuk keputusan ini, saya punya biaya hidup yang tinggi.
  3. Saya memilih suami yang berwirausaha. Dan untuk keputusan ini, saya harus bekerja di luar rumah.
  4. Saya memilih berkarir. Dan untuk keputusan ini, saya harus bekerja all-out dan meninggalkan keluarga, mencari peluang-peluang untuk terus naik .
  5. Saya memiliki anak. Dan untuk keputusan ini, saya menggadaikan kesehatan jiwa dan raga saya. Membagi pikiran saya antara anak dan urusan kantor, membagi peran saya antara Ibu dan Karyawan.


Saya merasa tipis, lelah, dan hampir putus asa. Lelah saya tak berhenti di kantor, lelah saya harus dibawa sampai besok pagi, lelah saya harus menunggu saat kedua manik-mata anak saya menatap lekat dengan rindu. Lalu segala lelah saya menumpuk, sedikit-sedikit, menjadi bola salju.

Tuhan, sungguh saya semakin lelah. 

 Ya, saya tahu, pada akhirnya saya harus memilih.
Dan saya tahu apa yang harus saya pilih.

Tapi saya takut.
Saya pengecut. 
Saya tidak ingin kehilangan standar hidup yang saya jalani. Saya takut terjebak dalam kemiskinan (there I said it!). Saya takut menggantungkan diri pada suami saya (there I said it!). Saya takut masa depan saya tidak seindah harapan (there and there, I finally said it..)

Sejenak berdiam diri. Mencerna. Bernafas lega. Demikian lega, karena akhirnya saya bisa jujur pada diri sendiri.

Lalu tiba-tiba air mata jatuh dan menderas.




Ya, Tuhan.. Saya ringkih, dan kini saya menyadari itu. Saya tidak dapat mengatur diri saya sendiri, dan kini saya menyadari itu. Saya lemah, dan kini saya menyadari itu..

Tuhan,
hamba titipkan seluruh hidup hamba ditangan-Mu,
pilihkan jalan terbaik,
teguhkan bahu hamba,
tegapkan langkah hamba,
isilah hati hamba dengan ketenangan…


Epilog:


Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan kita dengan ratusan bahkan puluh-ribuan takdir, atau mungkin juga tak-hingga. Takdir-takdir itu telah dijamin oleh Yang Maha Mengetahui, dan tidak seharusnya kita merasa sendirian dan putus asa. Pilihan-pilihan yang kita ambil, hanya semata-mata membuka lembar takdir yang mau tak mau akan kita jalani, entah dari buku yang mana.

Ingat saja, bahwa seluruh buku takdir kita ditulis oleh Tangan Yang Maha Indah, dan Ia adalah Penulis yang paling baik.

Ikuti kata hati. Lepaskan rasa takut.


"The Road Not Taken"

Robert Frost

Two Roads Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less travelled by,
And that has made all the difference.




@dinarkarani

4 comments:

{ Unknown } on: 19 Juli 2013 pukul 12.28 mengatakan...

Terkadang pilihan orang-orang di sekitar memendar energi tertentu, semoga berkah untuk apapun pilihannya..

Semangat, Senyum :)

{ Ummu Attariq } on: 19 Juli 2013 pukul 12.39 mengatakan...

:)

Semoga yang terasa energi positif, heheh, thanks El..

{ New World Institute } on: 20 Juli 2013 pukul 03.15 mengatakan...

Halo mbak Dinar,

Mampir ke sini karena di Goodreads dipromosikan akan banyaknya kontenmplasi. Ya saya juga suka kontemplasi. Salam kenal... :)

Semangat terus mbak! Untuk hidupnya, untuk tujuannya yang banyak dan perlu diwujudkan satu-per-satu.

He he he, saya juga seorang yang ambisius. Terus pernah nemu tulisan ini (http://www.inspirationandchai.com/Regrets-of-the-Dying.html)... Bagaimana menurut Mbak Dinar?

{ Ummu Attariq } on: 29 Juli 2013 pukul 10.43 mengatakan...

Halo salam kenal Mas Rizky! Senang bisa berkenalan. Kita temenan di Goodreads juga dong.. :D

Wow, saya suka banget artikel Bronnie ini... terutama karena dia bicara dari pengalaman pribadinya. Thanks for sharing this link.

Phew, sebetulnya ini adalah nasihat yang sering kita dengar, baca, renungkan, tapi jarang bisa kita lakukan. Lagi-lagi rantainya "comfort-zone" (padahal seharusnya comfort-zone itu jadi ngga comfort lagi karena tahu endingnya bakal gimana).

Saya berdoa saya bisa berani untuk melangkah, untuk bisa memaknai hidup saya lebih baik. Saya juga berdoa agar Mas Rizky selalu dapat mengambil langkah-langkah besar dengan mantap.

Blognya apa mas? Biar ku follow, jadi blog-friend. :D

Posting Komentar

Follow Me

blogger widget

Temanku

Popular Posts

Blog Hits

 
Copyright © 2010 Dinar Karani, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger